Sabtu, 30 April 2011

Yoga Dan Maditasi


Yoga bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan agama atau kepercayaan tertentu. Yoga adalah Yoga. Yoga merupakan suatu tehnik spiritual yang lebih tua dari agama apa pun juga di dunia, termasuk agama Hindu, agama tertua yang dikenal dalam catatan sejarah manusia.

Agama Hindu adalah agama yang berdasarkan kitab suci Veda. Sementara kitab Veda pertama kali digubah sekitar tahun 5000 SM, pada saat masuknya bangsa Arya ke India. Sementara Yoga sudah dikenal oleh masyarakat India jauh sebelum datangnya bangsa Arya. Para Yogi (praktisi yoga) sudah terdapat di India jauh sebelum jaman Veda. Sampai saat ini, praktisi yoga tidak hanya pemeluk Hindu saja, namun dari berbagai agama dan kepercayaan. Bahkan dalam beberapa literatur, disebutkan beberapa nabi dan orang-orang suci pun juga menjadi praktisi yoga, seperti Yesus dan nabi-nabi lain yang sulit disebutkan di sini. Yoga adalah milik dunia, milik semua insan yang ingin menjalani kehidupan spiritual. Tanpa ada ikatan agama maupun tradisi. Sebagaimana sinar matahari, semua insan berhak berjemur dibawahnya.

Namun harus diakui, bahwa Yoga yang diketahui sekarang merupakan warisan dari khazanah budaya India. Maka istilah-istilah dalam Yoga mempunyai banyak kesamaan dengan istilah-istilah dalam agama Hindu, karena keduanya sama-sama lahir dalam tradisi kebudayaan India. Oleh karenanya, bila ingin mendalami Yoga, harus tidak keberatan menerima istilah-istilah India. Sebagaimana kita tidak pernah keberatan menggunakan istilah-istilah Latin, bila belajar ilmu kedokteran. Menggunakan istilah-istilah Jepang dalam belajar Karate dan istilah-istilah Cina dalam belajar Kungfu. Atau, mempelajari buku-buku bahasa Inggris untuk mendalami ilmu Ekonomi.

Yoga berasal dari suku kata yuj, dalam bahasa Sansekerta berarti "menghubungkan" atau "mempersatukan". Secara kebetulan, kata ini semakna dengan sholat yang berasal dari kata washola, dalam bahasa Arab yang juga berarti “menghubungkan” atau “mempersatukan”. Untuk menyatukan diri dengan Tuhan kalangan muslim melakukan sholat, berupa doa-doa dan gerakan-gerakan tertentu. Dalam Yoga, doa-doa disebut mantra yoga dan gerakan-gerakan disebut hatha yoga. Tujuan sholat adalah untuk berzikir – mengingat Allah. (QS 20:14). Hasilnya adalah tercegahnya perbuatan keji dan mungkar. Dan ritual ini (sholat) dipandang oleh Tuhan sebagai ritual yang lebih besar manfaatnya daripada ritual lainnya. (QS 29:45). Jika anda setuju, maka Yoga merupakan ritual yang besar manfaatnya.

Bila kita mengenal Karate atau Kungfu sebagai sebagai suatu tehnik untuk membela diri, maka Yoga merupakan suatu tehnik untuk mengenal diri. “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya”. Perlu ditegaskan lagi, bahwa Yoga adalah suatu sadhana (latihan yang bersifat spiritual). Bukan sebagaimana dipahami sekarang,Yoga diartikan sebagai senam atau latihan kanuragan.

Sebagaimana ilmu bela diri, berlatih Yoga juga memerlukan disiplin yang keras. Tidak ada dispensasi untuk memperpendek jalan. Namun, berlatih Yoga tidak ada istilah terlambat untuk dimulai. Apakah seorang anak - orang tua, wanita - pria, cacat - sehat, terpelajar - buta huruf, bahkan seorang yang suci atau pendosa pun dengan kesungguhan hati semuanya dapat berlatih Yoga.



Jenis-jenis Yoga

Secara garis besar Yoga ada 4 jenis, yaitu :
Karma Yoga, Bakti Yoga, Jnana Yoga, dan Raja Yoga.
Adapun Mantra Yoga, Japa Yoga, Hatha Yoga, Kundalini Yoga, Kriya Yoga, dll. dikatagorikan sebagai Raja Yoga.

Karma Yoga, yoga yang dilakukan melalui kehidupan tanpa pamrih. Para praktisinya tidak pernah mengeluh menghadapi persoalan. Semua masalah dipandang merupakan akibat dari karma, maka harus diterima dan dihadapi. Konsep ini banyak disalah-pahami sebagai konsep hidup pasip, padahal konsep ini justru membawa manusia menjadi aktip dalam menghadapi kehidupan. Karma Yoga mengajarkan pada manusia untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan, bukan melarikan diri dari persoalan.

Bila anda praktisi Karma Yoga, maka persoalan apapun yang terjadi harus anda terima, tidak melarikan diri. Melarikan diri bukan solusi, tapi justru menimbun persoalan dan membuat persoalan baru. Persoalan tidak akan pernah hilang, yang ada hanyalah penundaan dan penumpukan. Untuk menyelesaikannya, mau - tidak mau, suka-terpaksa, semua harus dihadapi. Entah kapan, yang jelas semua persoalan perlu penyelesaian. Banyak penderita stress, bahkan yang bunuh diri, dikarenakan tidak mau menerima suatu persoalan sebagai kenyataan dan menyelesaikannya, kemudian melarikan diri tanpa mau menghadapi dan menyelesaikannya.

Bakti Yoga, yoga yang dilakukan dengan berbakti kepada Tuhan, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Semuanya dilakukan dengan cinta tanpa memiliki pamrih apa pun (termasuk ingin masuk sorga). Kecintaan praktisi Bakti Yoga (Bakta) bermakna luas. Bukan hanya pada Tuhan, namun juga pada semua mahluk ciptaan-NYA. Mencintai ciptaan-NYA merupakan manifestasi dari mencintai Sang Pencipta. Cinta seorang Bakta tidak membeda-bedakan ras, suku, bangsa, dan agama. Tidak membenci yang miskin - yang kaya, yang indah - yang buruk, yang pintar - yang bodoh, yang beriman - yang kafir. Semuanya dicintai, bahkan binatang, tumbuhan, dan batu-batuan pun tidak luput dari kecintaan seorang praktisi Bakti.

Jnana Yoga, yoga yang dilakukan dengan jalan pengetahuan. Praktisi yoga ini adalah para intelektual, dengan cara mengkikis kebodohan manusia. Dengan terkikisnya kebodohan, maka manusia semakin pandai. Semakin pandai manusia, terhapuslah kemiskinan, ketidak-adilan, dan kesewenangan. Dengan demikian semakin damai dunia. Semua itu dikarenakan manusia tahu akan hakekat dirinya. Manusia yang tahu hakekat dirinya, maka dia akan tahu hakekat Tuhannya. Itulah tugas para praktisi Jnana Yoga.

Raja Yoga, yoga yang dilakukan dengan cara mempraktekkan secara langsung tata cara pengedalian pikiran dan kesadaran indra-indra manusia. Raja Yoga memuat berbagai disiplin fisik dan pikiran, semua dilakukan dalam rangka menuju kepenyatuan seorang hamba dengan Tuhan. Hasil dari semua itu disebut Pencerahan, Manunggaling Kawula Gusti (Jw.). Makrifatullah (Is.). Apapun namanya, bukan suatu masalah yang patut diperdebatkan. Bagi praktisi yoga, yang penting adalah pelaksanaannya.

Perkembangan kemudian, hanya Raja Yoga lah yang dikenal sebagai Yoga. Bagi praktisi Raja Yoga, praktek Hatha, Japa, Mantra, Kundalini, dsb. bukanlah sesuatu yang terpisah. Sebagaimana praktek Sholat, tidak pernah memisahkan antara “bacaan” (doa-doa) dengan “gerakan-gerakannya”, semuanya sakral. Seorang praktisi Yoga yang sempurna, juga melakukan praktek Bakti, Karma, dan Jnana. Sebagaimana seorang yang taat beragama, tidak hanya melakukan ritual peribadatan pada Tuhan saja, tapi juga melakukan semua aturan moralitas dan hukum yang telah digariskan.



Guru

Belajar Bakti, Karma, Jnana bisa saja tanpa guru, tapi belajar Raja Yoga keberadaan seorang guru/pembimbing merupakan syarat mutlak. Seperti melakukan Kundalini Yoga, mengaktifkan cakra-cakra adalah pekerjaan yang sukar dan berbahaya tanpa adanya bimbingan seorang guru. Kitab Siva Samhita menerangkan bahwa belajar Yoga tanpa guru sungguh tidak berguna, lemah, dan menyedihkan. Bagi seorang murid yoga, mendapatkan seorang guru merupakan suatu anugrah yang luar biasa, tidak bisa diukur dengan harta,tahta, dan nyawa sekali pun karena hanya pengetahuan yang diberikan dari bibir seorang guru saja yang penuh kekuatan dan sangat berguna.

Seorang guru dapat memberikan sakti sancara (pemberian kekuatan batin) kepada murid. Cara yang dilakukan pemberian tersebut dengan jalan spharsa (menyentuh), dharsana (memandang), atau dengan cara sankalpa (berkehendak). Orang yang sering bermeditasi akan merasakan betapa berbedanya meditasi sendiri selama bertahun-tahun dibanding meditasi dengan seorang guru beberapa menit saja. Kekuatan rohani seorang guru memberikan berkah baginya. Demikian pula dalam Yoga keberadaan seorang guru adalah sangat esensial.

Mencari seorang guru bukan hal yang mudah. Seseorang yang berdekatan dengan guru akan mengalami ketenangan. Seorang guru terbebas dari segala problem mental. Seorang guru hidup penuh kemuliaan moralitas. Seorang guru memiliki kontrol terhadap semua lapisan jiwa. Seorang guru tidak hanya mengajar, tapi juga menuntun murid pada kemajuan lebih lanjut. Demikian sekilas tentang ciri-ciri seorang guru yang berkwalitas menurut kitab-kitab Yoga. Selama bumi masih berputar, seorang guru selalu ada. Seringkali seorang guru menghampiri kita. Persoalannya, apakah kita mau menjadi murid atau tidak. Keangkuhan dan kebodohan diri yang seringkali menjadi hambatan untuk berjumpa dengan guru.

Teknik yoga merupakan explorasi terhadap diri sendiri, sehingga dapat memaksimalkan segenap potensi diri yang belum dikenali. Tubuh manusia merupakan perangkat komputer yang super canggih sekaligus pesawat yang dapat membawa dirinya menjelajah ke seluruh pelosok penjuru bumi dan langit (semacam peristiwa mi`raj Nabi Muhammad-Is.). Yoga membawa manusia untuk melampaui yang fana, baik yang tampak maupun tidak tampak.

Belajar yoga menuntut pengalaman langsung. Tidak hanya berkutat pada pengetahuan saja, seperti para cendekiawan, pakar agama, dan ahli filsafat. Mereka lebih senang berolah pikir dan berdebat tentang alam, manusia, dan Tuhan. Namun, tidak pernah sampai pada pengalaman yang lebih jauh tentang alam, manusia, dan Tuhan. Bahkan seringkali justru terjerumus pada pen-dewa-an akal dan alam, kemudian mengesampingkan Tuhan. Mereka tidak memiliki pengalaman rohani, karena tidak pernah menterjemahkan pengetahuannya dalam hidup sehari-hari. Menguasai berbagai kitab suci, tapi tidak memahaminya. Memahaminya tapi tidak melaksanakan. Di sini-lah perbedaan antara para yogi (sufi-Is.) dengan para ahli kitab (cendekiawan).

Latihan yoga tidak harus meninggalkan keluarga dan menyepi di hutan. Seorang yogi (praktisi yoga) bisa saja berada di tengah keramaian dunia. Seperti bunga teratai yang tumbuh di lumpur, tapi tidak tercemar oleh lumpur. Tidak hanya orang Hindu atau Buddha saja yang dapat menjadi yogi. Siapa pun bisa menjadi yogi, bahkan banyak orang yang tidak pernah mendengar istilah-istilah dalam ajaran yoga, tetapi hidup mereka bagaikan seorang yogi.



Patanjali

Patanjali, seorang yogi (praktisi yoga), menerangkan bahwa yoga memiliki 8 bagian yang tidak terpisahkan, yaitu : Yama (mengendalikan diri), Niyama (ketaatan), Asana (Sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Pratyahara (Pengaturan diri/indra), Dharana (Konsentrasi), Dhyana (Meditasi), dan Samadhi (Keseimbangan). Bagian-bagian yoga tersebut tidak dapat dipisahkan, sebagaimana bagian tubuh manusia yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan. Pengaturan nafas tanpa pengaturan diri, bukanlah Yoga, demikian seterusnya. Kedelapan bagian tersebut adalah satu kesatuan.

Lebih lanjut Pantanjali menjelaskan. Yama berarti menghindari kekerasan (Ahimsa), mantap dalam kebenaran (satya), mantap dalam kejujuran (asteya), Hidup dalam Tuhan (Brahmacharya), tidak tamak (Aparigraha). Dan, Niyama berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri (sauca), merasa puas dengan apa adanya (samtosa), sederhana (tapah), mempelajari diri sendiri (swadaya), dan menyerahkan segalanya pada Tuhan (Iswara pranidhana).

Asana tidak hanya berarti sikap yang nyaman dalam postur-postur yoga, tapi pola hidup yang nyaman, yaitu pola hidup yang seimbang. Makan tidak berlebihan-puasa juga tidak berlebihan. Mencintai tidak berlebihan-membenci juga tidak berlebihan, dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus permanen-tidak temporer.

Pranayama yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari proses pernafasan berarti menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian. Bermula dari sini manusia akan mencapai tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan ini-lah yang membedakan antara manusia dengan hewan.

Pratyahara berarti menyadari pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali maka kontrol diri (indra-indra) juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda oleh objek-objek duniawi. Peng-haram-an atas objek-objek dunia, seperti sex bebas, narkoba, dsb. Tidak akan banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut seringkali membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak mengharamkan sesuatu apa-pun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap objek-objek duniawi tersebut. Demikian-lah yoga, menuntut pelepasan ego secara luas. Selama seseorang belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan melakukan yoga (jalan spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan danau pikiran manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat jelas. Oleh sebab itu, supaya pikiran tidak kacau maka dibutuhkan niat yang kuat dalam melaksanakan yoga.

Dharana (konsentrasi), mencapai konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan yang alami. Ketenangan yang permanen-bukan dibuat-buat. Pada bagian ini seseorang mencapai kedamaian Illahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada lingkungannya. Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang dapat mempengaruhinya.

Selanjutnya Dhyana (meditasi yang mendalam), menyadari sesuatu tanpa ada gangguan lagi.

Kemudian bagian terakhir Samadhi (tujuan akhir meditasi), kondisi ini tidak dapat lagi dijelaskan. Inilah pencerahan, tempat pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi, pertemuan antara hamba dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan mahluk.

Demikian sekilas penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh Patanjali. Kedelapan bagian tersebut berkaitan-tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8 bagian tersebut itu-lah yang disebut yoga dalam arti yang sesungguhnya. Ini perlu dijelaskan karena bagi masyarakat Indonesia, yoga seringkali disalahartikan sebagai “akrobat” atau semacam “praktek-praktek klenik”, dan lain sebagainya..

Jumat, 29 April 2011

Pengertian Yadnya


Kalau ditinjau secara dari ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.


Yadnya (yajna), dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptalan alam semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).


Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus iklas dengan tanpa pamerih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnyanya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.


Agnim ile purohitam yajnasya devam rtvijam,

hotaram ratna dhatanam (R.V.I.1.1)


Hamba menuja Agni, pendeta agung upacara yadnya, yang suci, penganugrah, yang menyampaikan persembahan (kepada para Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.


Ishtân bhogaân hi vo devâ

dâsyante yahjna bhâvitâh

tair dattân apradâyai byo

yo bhunkte stena eva sah. (Bh. G.III.12)


Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu) Hyang Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan bagimy, dia yang tidak membalas rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.


Yâjna sishtâsinah santo

muchyante sarva kilbishaih

bhunjate te ty agham pâpâ

ye paehamty atma karanat. (Bh. G.III.13)


Yang baik makan setelah upacara bakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini, sesungguhnya makan dosa.

Rabu, 27 April 2011

SUTASOMA

Buddha berreinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.

Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.

Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.

Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan

KEKAWIN SUTASOMA

Ah naranya: vijil nin bdyu sanke sarlra, ah sabdanya, muksa rik sarlra, candrarüpa ikan sarlra ri muksa nin bdyu rin sarlra, saumyalilan ahënin ikan sarlra vëkasan, sdnta-candra naran ikd, sdnta-smrti naran vaneh.

Ri hana nin smrti-sürya sdnta-candra dadi tak advaya-jndna. Patëmu nin advaya mvan advaya-jndna, ya tandadyakën Divarüpa, (b 42) avd sadd-kdla, ahënin nir-dvarana kadi te ja nin manik, apadan rahina sadd, sugandha tan gavai-gavai, surüpa tan gavai-gavai; surasa tan gavai-gavai sira katon denta.

Ikan am ah yatikd sinangah sak hyan advaya naran ira, bapa sira de bhatdra hyan Buddha. Ikan jndna vruh tan vikalpa humidëk nir-dkdra, yatika sinangah san hyan advaya-jndna naran ira. San hyan advayajndna sira ta devï bhardlï Prajndpdramitd naran ira, sira ta ibu de bhatdra hyan Buddha. San hyan Divarüpa sira ta bhatdra hyan Buddha naran ira.

Metre sragdhara
Srï Bajrajndna sünyatmaka parama sirdnindya rin rat visesa,
lila suddhdpratisthên hrdaya jayajayankën mahd-svarga-loka,
eka-cchattrên sarïranhuripi sahana nin bhür bhuvah svah prakïrna,
sdksat candrarka pürnadbhuta ri vijil iran sanka rin boddhi-citta.
Singih yan siddha-yogïsvara vekas ira san sdtmya Idvan Bhatdra,
sarva-jnamürti sünyaganal alit inucap musti nin dharma-tattva.

Tantular, Sutasoma Kakavin 38.1—42.4.

38. Metre praharsinï
1. Satvendröraga tika mukya Hastivaktra,
bhakty arianjali ri sira n narêndra-putra,
kapvaminta vinarah in mahopadesa,
dvaranun tuten in a-cintya-sünya-dharma.

2. Apan kveh i manah i san mahati-yogi,
wanten nirmala-bhava moksakan ginön tvas,
len tan tyaga pëjah anun yathêsta-dharma,
panlingan nrpa-suta nasta mankya mülya.

3. Sansiptan lëvih ikanan paratra-marga,
sankên moksaka ri hidëp patik nararya,
dü bhagyadhika panucapta sadhu rin rat,
adya nvaii majara masaksya san rësindra.

4. Sirigih linta parama-moksa-marga dibya,
de nih rat kunan ika san mahati-vidvan,
tan moksahga juga visesa-dharma-marga,
matyasin saparaga nin kabodhisattvan.

5. Pöh nin sastra tëkap i san visesa-sadhu,
yadyan panlëha suka yan parartha donya,
durrlaksmyathava sugihêki tan vikalpa,
mon matyahuripa lamun jagad-dhitartha.

6. Nhih têkan parama-nirasrayêki gönën,
rin jfianadhika vëkas in maha-visesa,
tan svargabhyudaya kitan panekacitta,
yêkande sasar ikanan paratra-marga.

7. Toh ndyanun vivitan ike linanta manko,
vidyadi-krama ginëlar tëkap Bhatara,
dharmadharma tuvuh ikan samasta-bhümi,
mati mvan mahurip aneka srsti nin wan.

8. Püja yoga japa samadhi dana punya,
len têkah brata suci paksa Bhairavatva,
salvirnyêii asubha-subha pravrtti rin rat,
jnanavesa milu tumut punarbhavêka.

39. Metre sikharini
1. Kunan san wan nissreyasa sira tatan siddhi rin ulah,
ndatan püja tan yoga rinëgëp iran nisbhava sada,
luput sankên bhava-krama pati hurip tan panavara,
apan saksat sankan paran ika sira-cintya-bhavana.

2. Sirêkadrëvya jnana tiga hurip in bhümi sahana,
banun bhayên way tan milu banu sirên duhka suka len,
gunanekalit tan lëga masëk in alvadbhuta tëmën,
göh tan mopëk yan mafijih in ahët ikasüksma sumilib.

3. Kalïnanyêvëh san vinuvus i vuvus nin wan amuvus,
apan rakvêki tan vënaii inubhayan pan sira mucap,
siranon tan katon sira juga manon pan sira manon,
adoh tan düra nke sira ta maparëk tan kaparëkan.

4. Yateka pinrih nin viku ri tëka nin dharma kapatin,
savan kris sah sankên sarunan inunus tan kahavaran,
tëkap nin trinyarok rva pinasah irên jnana vimala,
vidagdhaninkab roma salaya tinut nin nirupama.

5. A-cintyanumpak rin taya matapakan bhaskara vulan,
ika lvir san llnadhika sama lavan moksa-karana,
nda sansiptan sin solaha juga lamun nirmala sada,
prasiddhamor in tan hana kaluput in vahya-vibhava.

40. Metre
1. Nahan lin Jina-mürti majar i kadibyan in patipati,
mvan tan moksaka-marga kempen i vuvus niran pavacana,
ndan san Samajavaktra naga-pati satva-natha karuna,
bhakty ananjali jöh niramalaku sih nirêki tulusa.

2. De nin yoga samadhi tan hana ri san nir-asraya-yati,
nis tan marga visesa rakva ri hidëp patik nrpa-suta,
siddhan yoga yan arddha liii nira nir-asrayêki kahidëp,
nëm kvehnyadhika rin sivatva ya rënön mahottama tëmën,

3. Pratyahara naranya kalapan in indriyêka vinalat,
sankên artha jugêka rakva makamarga buddhi vimala,
nyan dhyanadhika dhïra yoga humidëp sva-sadhya mapagëh,
nir-byamoha taman kasambi rin ulah prapanca satata.

4. Pranayama naranya bayu vinatëk marêii hulu tënah,
sarva-dvara minëb tëkapnya tinut in visesa katëmu,
omkara pranavêki murigu ri dalëm tvas arddha ya kasök,
vet nin tattva Sivatva dharana naranya yoga saphala.

5. Len tan tarka naranya yoga gaganöpama n manah ava,
hhih tan vak-dhara rakva len ika sakêrikan avanavan,
mvan tan jnana vikalpa tarja malilan vi-sadhya pinëlën,
nis-sandeha samadhi yoga panaranya moksa-karana.

6. Tandvan asta-gunan kapangiha tëkapnya rakva rumuhun,
drsyadrsya vasitva rih bhuvana Rudra-mürti sa-kala,
yekan bvat i manah nira n parama-santikarya nipuna,
kempër yan rusit in jitêndriya juran niii ambëk ahajön.

7. Yapvan dhïra manah katungën ikanan sva-citta mabënër,
tan kevö tëkap in trikaya vala siddhi sarva-karana,
kevëh nin tri-gunatmakarddha ya huvus kasimpën amatëh,
nka rakvan sira sünya-rüpa paramartha-tattva kahidëp.

41. Metre sardülavikrïdita
1. Nahan tinkah ikah Sivatva ri sira n Saiva-sva-paksadhika,
bheda mvan Jina-tattva têki ri sira n Bauddhaprameyêh jagat,
san hyan Hadvaya-yoga-sandhi pinakesti dvara san bhiksuka,
arn ah sabda nikan sva-bayu ri dalëm kantha prasiddhafihayu.

2. Rep prapta n ravi soma denya sumaput rin deha suddhakrti,
mvan tan Hadvaya-citta divya mapageh ftkanê manah nirnaya,
pöh nin rvanupamati-sïghra ri vijil hyah Buddha tan kavaran,
sünyakara divanga nir-mala siran nirbana nir-laksana.

3. Apan tan siva tan Mahesvara sira n tan Brahma tan Kesava,
tan san hyah paramesthi Rudra tuduhën düran kavastvêrika,
singih yan Paramartha-Buddha tëmahan san siddha-yogisvara,
iccha nora kasansayaganal alit tan matra matrên jagat.

4. Nahan hetu bhatara Buddha kahidëp putraprameyên jagat,
san hyah Hadvaya rama tattva nira de san panditanhayvani,
Prajnaparimitêbu tan sah i sëdën nin yoga sanusmrti,
tan ragodaya bhinna rakva kalavan hyah Durmukhên atmaja.

5. Mahka sïla nirêh mahayana vëkas nih Bodhisattvan laku,
vet nih tattva visesa tan huniha rih Hastesvaranindita,
yavat preksaka rakva tavat ikanah nissreyasêvëh pinet,
nahan hetu ni sah Sivatva makadat muhsy amrihên sünyata.

42. Metre vasantatilaka
1. Sahsipta têki bapa sah Gajavaktrarüpa,
mvah naga-raja karuhun vara-sattva-natha,
prih hayva tan dugadugê vuvus in kadi hvah,
Buddhopadesa tëka rih Siva-tattva-yoga.

2. Apan tivas juga sira h muni Bauddha-paksa,
yan tan vruh ih parama-tattva-Sivatva-marga,
mahka h munindra sah apaksa sivatva-yoga,
yan tan vruh ih parama-tattva Jinatva-manda.

3. Na de nirahucapakën vacanöpadesa,
tan lambalamba tuhu yan Jina-mürti saksat,
Durvaktra naga-pati satva-pati pranamya,
bhakty ati-bhakti manadah vacanati-guhya.

4. Sampun matêki ya kinon ira bhiksva vikva,
yan ksetra sindhu giri sohgvanan ih mayoga,
hhih tan pakarvana tapo-vana hayva mahka,
yan mahkanêki gati sah viku Bauddha-paksa.

Selasa, 26 April 2011

Manusia Mempunyai Saudara Empat


D alam Kanda Pat diceritakan kelahiran manusia mempunyai saudara sebanyak empat yang terdiri dari Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja. Pada usia kehamilkan enam bulan terbentuklah empat saudara yakni Babu Lembana, Babu Abra, Babu Ugian, Babu Kekered. Pada umur kehamilan sepuluh bulan lahirlah sang bayi beserta saudaranya yakni ari-ari disebut Sang Anta, tali pusar (Sang Preta), darah (Sang Kala), air ketuban (Sang Dengen). Keempat saudara ini yang memelihara semasih dalam kandungan. Ketika lahir keempat saudara tersebut berpisah dan berganti nama menjadi I Salahir (Anta), I Makahir (Preta), I Mekahir (Kala), dan I Salabir (Dengen), sedangkan badan manusia sendiri disebut dengan I Legaprana. Keempat saudara yang telah terpisah tersebut masih saling ingat satu sama lain. Kemudian kira-kira selama empat tahun kemudian, keempat saudara tersebut saling melupakan, dan menjelajahi dunianya sendiri-sendiri. I Salahir ke timur berganti nama menjadi Sang Hyang Anggapati, I Makahir ke selatan berganti nama menjadi Sanghyang Prajapati, I Mekahir ke barat menjadi Sanghyang Banaspati, I Salabir ke utara menjadi Sanghyang Banaspatiraja.

Kelahiran Manusia Mempunyai Saudara Empat Kemudian keempat saudara tersebut dengan kuat melakukan tapa – yasa dan berganti nama lagi. Anggapati bergelar Bagawan Penyarikan berkedudukan di timur, sedangkan di badan manusia tempatnya di kulit. Prajapati bergelar Bagawan Mercukunda berkedudukan di selatan, dalam tubuh manusia letaknya di daging. Banaspati menjadi Bagawan Shindu Pati berkedudukan di Barat, dalam tebuh manusia tempatnya di urat. Banaspatiraja menjadi Bagawan Tatul, berkedudukan di utara, dalam tubuh manusia tempatnya di tulang.

Dan terakhir, berkat tapanya yang teguh, saudara empat tersebut mendapat julukan : Anggapati mendapat julukan Sang Suratma, Sang Prajapati berjuluk Sang Jogormanik, Sang Banaspati menjadi Sang Dorakala, dan Sang Banaspatiraja mendapat julukan Sang Maha Kala. Ini dalam Kanda Pat Rare.

Dalam mitologi disebutkan bahwa ketika Dewi Uma telah kembali ke Siwa Loka, maka yang tinggal di dunia adalah perwujudan beliau dengan segala sifatnya. Jasad ini kemudian oleh Dewa Brahma dihidupkan dan menjadi empat tokoh yang disebut dengan catur sanak, yakni : Anggapati menghuni badan manusia dan mahluk lainnya. Ia berwenang mengganggu manusia yang keadaannya sedang lemah atau dimasuki nafsu angkara murka. Mrajapati sebagai penghuni kuburan dan perempatan agung. Ia berhak merusak mayat yang ditanam melanggar waktu/dewasa. Juga ia boleh mengganggu orang yang memberikan dewasa yang bertentangan dengan ketentuan upacara. Banaspati menghuni sungai, batu besar. Ia berwenang mengganggu atau memakan orang yang berjalan ataupun tidur pada waktu-waktu yang dilarang oleh kala. Misalnya tengai tepet atau sandikala. Banaspatiraja, sebagai penghuni kayu-kayu besar seperti kepuh, bingin, kepah, dll yang dipandang angker. Dia boleh memakan orang yang menebang kayu atau naik pohon pada waktu yang terlarang oleh dewasa. Itu termuat dalam lontar Kanda Pat.

Dalam kanda pat Buta disebutkan bahwa Anggapati berarti kala atau nafsu di badan kita sendiri. Merajapati berarti penguasa Durga setra gandamayu. Banaspati diwujudkan berupa jin, setan, tonya sebagai penjaga sungai, jurang atau tempat kramat. Dan Banaspatiraja diwujudkan dalam bentuk barong sebagai penguasa kayu besar atau hutan. Sebagai tambahan bahwa kalau di Jawa sering disebut dengan Banaspati, yakni raksasa yang berkepala merah.

Barong berasal dari kata beruang (binatang hutan), kemudian berkembang menjadi Barung yang artinya berjalan beriringan. Seperti misalnya gambelan mebarung, artinya gambelan yang berjejer atau berbarengan. Jadi perkembangan kata barong menjadi beruang menjadi barung dan bareng, maka dapat kita artikan di sini adalah barong merupakan perwujudannya sebagai binatang hutan (beruang), dan fungsinya di dalam kehidupan social masyarakat Bali adalah sebagai beriringan atau berbarengan. Yang lebih luas kita artikan sebagai simbolisasi dari persatuan dan kesatuan masyarakat. Jadi barong juga sebagai lambang pemersatu.

Apabila kita dapat memahami hakekat dan mendalami dari ajaran kanda pat ini maka akan dapat meningkatkan kemampuan spiritual dan supranatural dari manusia itu sendiri.

Kelahiran Manusia Mempunyai Saudara Empat Banaspati sesungguhnya gelar Hyang Siwa, yang mengendalikan kehidupan. Dimana segala kehidupan adalah ciptaan beliau. Banaspati sering digambarkan sebagai dewa yang seram yang mengerikan. Beliau juga yang menentukan nasib hidup dan kehidupan semua ciptaannya (sarwa bhutesu). Bilamana beliau dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka beliau sebagai sosok yang tegas, seram, berlaku cepat, adil dan penentu segalanya. Dalam hal tugas untuk memberikan keadilan, maka beliau bergelar Hyang Yama, memiliki tugas mulia sebagai penegak keadilan. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para tenaga andal (rencang) yakni Yama Bala. Tugas utama para Yama Bala adalah untuk menjemput dan memberikan tempat yang pas bagi para atma yang ingin menghadap Hyang Siwa.

Para atma yang baru hadir untuk menghadap Hyang Siwa tidak langsung diterima di Siwa Loka, tetapi sebelummnya dicatat terlebih dahulu oleh rencangan beliau yang bernama Sang Suratma, yang tugas utamanya adalah mencatat segala perilaku manusia ketika hidup di dalam manusia. Kemudian Yama Bala menghantarkan sang atma ke tempat khusus yang disebut dengan Tegal Penangsaran. Tempat dengan beragam kondisi sebagai tempat atma menerima perlakuan sesuai dengan kelakuannya di dunia. Ada tempat yang panas bara, menyakitkan, mengerikan, dll. Di tempat ini tidak terdapat tumbuhan, kecuali pohon-pohon yang berisi benda-benda tajam serta benda lainnya yang digunakan untuk memberikan hukuman kepada para atma.

Dalam naskah Tattwa Jnana, Hyang Siwa bersifat sadar (cetana) yang bersifat tak sadar (acetana). Pada saat beliau bersifat sadar, maka beliau memiliki hakiki sejati sebagia Siwa (Siwa Tattwa), sedangkan pada saat beliau tak sadar, maka beliau bersifat maya sesuai murthi beliau, yang digelari maya tattwa. Dalam sifat beliau sebagai cetana atau Siwa Tattwa, maka beliau meliputi Paramasiwattatwa, Sadasiwatattwa, dan Atmikatattwa. Yang utama adalah kemahakuasaan beliau yang disebut dengan cadu sakti. Dengan cadu sakti inilah beliau Hyang Siwa sebagai Banaspati, Yama, Sang Suratma dan Yama Raja, telah memerankan tugas sesuai murthi beliau.

Beliau memiliki kemahakuasaan yang dasyat yakni dapat mendengarkan segala ciptaan (durasrawana), maha melihat (duradarsana), sehingga beliau tidak dapat dibohongi dalam murtinya sebagai Banaspati, Yama Raja, Sang Suratma, dan Yamadipati.

Semua atma yang hadir untuk menghadap Hyang Siwa di Siwaloka, maka terlebih dahulu diterima oleh rencang beliau, termasuk juga para cikrabala Hyang Siwa. Setelah semua tuntas proses penerimaan, pencatatan, pemberian hukuman, maka sebagai pemutus utama adalah Hyang Siwa, apakah diterima di alam niskala atau tidak. Apabila perbuatannya baik, maka ia akan diterima di swarga. Namun demikian, masih ada lagi yang wajib dilunasi yakni adanya dosa-dosa yang luas. Maka pada saat itulah sang atma dikembalikan ke alam manusia (menjelma) dinamai swargasyuta.

Senin, 25 April 2011

nengahgendra: ILMU LEAK

nengahgendra: ILMU LEAK

INFO PENERIMAAN MAHASISWA BARU IHDN DENPASAR T.A 2011/2012


INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI ( IHDN ) DENPASAR
MENERIMA MAHASISWA BARU
TAHUN AKADEMIK 2011/2012

PILIHAN PROGRAM STUDI YANG DI TAWARKAN :

1. PROGRAM SARJANA (S1)
Ø FAKULTAS DHARMA ACARYA (PENDIDIKAN)
1) Jurusan Pendidikan Agama
2) Jurusan Pendidikan Bahasa & Sastra

Ø FAKULTAS BRAHMA WIDYA (FILSAFAT & ULMU AGAMA)
1) Jurusan Filsafat Timur
2) Jurusan Teologi

Ø FAKULTAS DHARMA DUTA (ILMU SOSIAL & BUDAYA)
1) Jurusan Penerangan Agama
a. Prog. Studi Penerangan Agama Hindu ( S1)
b. Prog. Studi Pramuwisata Budaya Agama Hindu ( D3 )
( Ket. : Khusus Bagi Mahasiswa Pramuwisata Budaya Agama Hindu, mendapat fasilitas Praktek Kerja Industri ( On the Job Training ) GRATIS di Travel Agent resmi yang bernaung di bawah ASITA & IHDN Denpasar sudah menjadi Full Member ASITA ).
2) Jurusan Hukum Agama

2. PROGRAM PASCASARJANA (S2)
v PROG. STUDI BRAHMA WIDYA
v PROG. STUDI DHARMA ACRAYA

3. PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU AGAMA

PENDAFTARAN DI MULAI :
1. Tanggal 3 Mei s/d 17 Juni 2011
2. Tempat :
Ø Jln. Ratna No. 51 Denpasar, telp. (0361) 226656
Ø Jln. Nusantara Kubu Bangli, telp. (0366) 93788
Ø Jln. Kresna Gang III No. 2B Singaraja, telp. (0362) 21289
3. Ujian Masuk :
v Test Tulis Tanggal 21 Juni 2011 pukul 08.00 Wita-selesai
v Psiko Test Tanggal 22 Juni 2011 pukul 08.00 Wita-selesai
4. Materi Ujian :
Pengetahuan Agama Hindu
Pengetahuan Umum
Bahasa Indonesia & English
5. Pengumuman Tanggal 27 Juni 2011
6. Pendaftaran Kembali Tanggal 28 s/d 14 Juli 2011
7. Persyaratan Pendaftaran :
Ø 1 lbr foto copy ijazah SMA/SMK yang dilegalisir
Ø 1 lbr foto opy transkrip nilai ( bagi yang lulusan/tamatan Diploma )
Ø 3 buah pas foto 3 x 4 cm
Ø Biaya pendaftaran Rp. 100.000,-

Estetika Kakawin Ekadauauiwa version

Berbicara masalah pengkajian sastra-sastra klasik Indonesia umumnya dan sastra Bali khususnya, mungkin dapat kita renungkan kembali pernyataan R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Uni-versitas Udayana tahun 1958. Pernyataan beliau adalah “Bali adalah pulau yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan sastra dan budaya lama” (Sudharta, 1989:10). Pernyataan tersebut sesung-guhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar “peti” yang me-ngandung “misteri-misteri budaya lama” dipahami oleh para generasi.

Karya-karya kesusastraan Bali mengandung dua hal pokok yaitu: (1) mempunyai konsep-konsep artistik tersendiri, dan (2) mempunyai kon-sep-konsep spritual kemanusiaan dan atau kebenaran yang universal dan ha-kiki (Agastia, 1980: 2). Di samping itu olah Sastra Bali tidak semata-mata bersifat susastra, melainkan erat kaitannya dengan kepercayaan, adat-isti-adat, upacara ritual, maupun tradisi sosial masyarakat Bali yang bersifat kompleks (Suastika, 1985:1) Dalam kesusastraan itu sarat berbagai pengeta-huan seperti: filsafat, ajaran ethika, estethica, arsitektur dan Astronomi (Puja,1982/1983: 29).

Pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra klasik sangat diperlukan zaman sekarang, agar generasi muda yang akan datang tidak ke-hilangan jejak untuk menelusuri aktivitas sosial budaya atau peradaban ne-nek moyangnya. Perlunya kita mempelajari, memahami warisan rohani bu-daya bangsa masa lampau lewat sastra-sastra lama, seperti diucapkan oleh Ida Bagus Mantra, “Ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-per-ubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan, tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia harus menegakkan kehidupan ro-haninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama yang terdapat dalam pustaka-pustaka suci, sehingga ia butuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap berjalan dalam mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek untuk menjalankan kewajibannya” (Agastia, 1994:59).

Sastra klasik Bali yang tentunya memiliki kekhasan tersendiri hingga kini masih terpelihara dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi “mabebasan” (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi), dalam sebuah kelompok sosial yang disebut “Sekaa Pesantian”. Sejalan de-ngan urain itu, A. Teeuw mengatakan di mana-mana di pulau Jawa, Madu-ra, Bali, Lombok, di bagian Sumatra dan Sulawesi, sastra memang seba-giannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra ini secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembaca dan pendengar seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mabebasan di Bali dan nembang di Jawa (1998:40). Apa yang telah dijelaskan A. Teeuw tentang mabebasan di Bali sampai saat ini masih terus terpelihara, dikembangkan, dihayati, diulas serta ditulis bahkan diciptakan kembali.

Melalui tradisi mebebasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya diba-cakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua arah dengan sangat “demokratis” Di antra anggota yang hadir, sehingga pa-da akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai yang adiluhur sebagai cer-min hidup dalam berpikir, berkata, dan berprilaku. Penulisan dan penya-linan karya-karya sastra kakawin, geguritan dan lain-lainnya di Bali sampai menjelang abad 20-an masih berlangsung di bebarapa Puri, Geriya dan sanggar-sanggar penulisan lainnya.

Salah satu karya sastra abad XX yang luput dari perhatian kita selama ini adalah berjudul “Kakawin Ekàdaúaúiwa”. Kakawin ini ditulis oleh seo-rang astra Brahmana muda dari Sibetan Bebandem, Karangasem Bali. Nas-kah kakawin ini masih ditulis di atas sebuah buku tulis dan belum sempat ditulis di atas rontal. Dengan demikian, naskah kakawin ini dapat dikatakan sebagai naskah tunggal.

Kakawin Ekadaúaúiwa merupakan karya sastra kakawin abad XX, yang digubah oleh pangawi yang masih tergolong sangat muda. Kakawin ini memiliki kedudukan yang sangat penting di antara kakawin yang ada, karena faktor isi dan keunikan penyajiannya yang merupakan jiwa zaman yaitu adanya ajaran “Siwa Sidanta” yang khas model Bali. Demikian pen-ting kedudukannya terutama di antara peneliti yang ada, sehingga Kakawin Ekadaúaúiwa sangat pantas atau penting diteliti. Naskah ini penulis dapat-kan langsung dari pengarangnya, yang tentunya sangat jarang dijumpai adanya pengarang yang sangat produktif menulis karya sastra tradisional se-perti kakawin di zaman modern ini. Sungguh bahagia dan bangga hati pe-nulis atas kreativitas pengarang kakawin ini, sehingga penulis merasa ter-tarik meneliti Kakawin Ekadaúaúiwa ini sebagai bahan kajian, sekaligus se-bagai upaya penghargaan terhadap hasil ciptaannya dan berusaha menye-barluaskan kepada masyarakat agar karya tradisional khususnya kakawin berkembang secara berkelanjutan. Di usia yang masih tergolong muda seo-rang astra Brahmana kelahiran Sibetan Bebandem Karangasem telah me-nunjukkan kreativitasnya di bidang olah sastra, dalam bentuk puisi Jawa Kuna berupa kakawin, yang tentunya tidak sembarang pengawi Bali mampu melakukannya. Di samping kesukaran bahasa yaitu penguasaan bahasa Ja-wa Kuna puisi Jawa Kuna sangat rumit, belum lagi harus memperhatikan isi cerita dan pengungkapan estetika memerlukan daya imajinasi yang tinggi.

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian terhadap Kakawin Eka-daúaúiwa ini memiliki kedudukan penting dalam khazanah kebudayaan Ba-li, yaitu: 1) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah tem-bang? 2) bagaimana Estetika Kakawin Ekàdaúaúiwa sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mendes-kripsikan nilai-nilai estetis yang bersifat konseptual yang terkandung dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa ini. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam estetika yang terdapat dalam Kakawin Ekàdaúaúiwa yang sarat akan nilai-nilai kebenaran lewat mang-gala, corpus (isi), dan epilognya.

Sedangkan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas, oleh karena konsep-konsep pemikiran yang terkandung dalam karya ini sebagai sum-bangan pemikiran untuk memahami konsep-konsep kebudayaan masa lam-pau, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa, khususnya kebudayaan daerah, dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

Saiva Siddhanta


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Siwaisme yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir, terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India, dan berkembang pesat ke seluruh India, dan wilayah diluar India, salah satunya adalah Indonesia.
Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.
Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.
Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber yang dimaksud adalah Bhuwana kosa,Wrhaspati tattwa,Tattwa Jnana,Ganapati tattwa,bhuwana Sang Ksepa,Siwa Tattwa Purana,Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.
Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas adapun rumusan masalah yang akan kita bahas dalam karya tulis ini adalah :
Bagaimana Tuhan Siwa atau Siwa Loka dalam Lontar Tutur Gong Besi?
Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa?
Peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa?
I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari karya tulis yang berupa paper ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui bagaimana Siwa Loka dan Tuhan Siwa sebagai tujuan umat Hindu di Bali.
Mengetahui lambang dari Tuhan Siwa dalam bentuk Lingga.
Mengetahui dan memahami peranan Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa,dalam hujud Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa itu sendiri.
I.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan paper Saiwa Siddhanta yaitu :
Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk ajaran Saiva Siddhanta.
Dapat mengetahui konsep daripada ajaran Saiva Siddhanta.
Mengetahui lambang dan tempat pemujaan Tuhan Siwa,serta gelar beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Tuhan Siwa atau Siwa Loka sebagai tujuan umat Hindu di Bali
Sastra agama Hindu di Bali sangat banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam bahasa yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih dari Ida Bhatara Dalem sebagai dewa paling utama. Salah satu sastra agama yang menyebutkan hal demikian adalah Lontar Tutur Gong Besi.
Arti Kata Lontar Tutur Gong Besi : Lontar adalah daun pohon lontar, Tutur adalah petunjuk, Gong Besi adalah nama dari sebuah kitab suci Agama Hindu . Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaannya, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja) dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai surga loka atau siwa loka.
Arti Kata Surga Loka atau Siwa Loka : Surga Loka artinya kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, Siwa Loka artinya Istana atau Stana Dewa Siwa sebagai manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siwa Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan. Dalam hubungannya dengan sembah bhakti (pemujaan) kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Ketika beliau yaitu Ida Bhatara Dalem berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa, maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut dengan Sanghyang Sapu Jagat.
Ida Bhatara Dalem ketika berstana di kuburan atau setra agung beliau dipuja dengan nama Bethara Dhurga. Ketika kemudian beliau berstana di tunon atau pemuwunan (tempat pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di Pura Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang Mrajapati. Di laut, Ida Bhatara Dalem dipuja dengan sebutan Sangyang Mutering Bhuwana. Pergi dari laut kemudian menuju langit, beliau dapat dipuja dengan sebutan Bhuwana Taskarapati. Taskara adalah surya atau matahari, sedangkan pati adalah Wulan atau bulan. Kemudian ketika beliau berstana di Gunung Agung dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah gunung, putri adalah putra atau anak, yakni putra dari Bhatara Guru yang berstana di Sanggar Penataran, Panti Parahyangan semuanya, dan berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari Gunung Agung kemudian berstana beliau di Gunung Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu. Ketika beliau berstana di Panca Tirtha atau pancuran air, maka beliau bernama Sanghyang Gayatri. Dari pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran sungai, maka beliau kemudian dipuja dengan sebutan Betari Gangga.
Bhatara Dalem ketika berstana disawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada disawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian didalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan Sanghyang Pawitra Saraswati. Didalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut Sanghyang Tri Merta. Kemudian di Sanggar Kemimitan (Kemulan) yaitu tempat suci keluarga, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah aku manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan Tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal. Ida Bahtara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah penguasa kematian, dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan Ida Sanghayng Widhi dengan segala manifestasi beliau. Dengan segala kemahakuasaan yang mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebagai pemuja atau penyembah yang taat akan menyebut beliau dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan juga dimana beliau dipuja. Demikian disebutkan dalam Tutur Gong Besi.
II.2 Lingga merupakan lambang Tuhan Siwa
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104).
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42). Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102).
Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah.
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:
”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.
Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 : 93).
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain :
- Chalalingga
- Achalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.
b. Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa
.
d. Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
e. Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama).
b. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
c. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.
II.3 Padma Tiga di Besakih sebagai konsep Tuhan Siwa
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang winastwan ikang sukha.(Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)
Maksudnya:
Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.
Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.
Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.
Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.
Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama Hindu.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dalam lontar Bhuwanakosa dikatakan bahwa semua yang ada ini muncul dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga. Dengan demikian maka Bhatara Siwa adalah sumber segala yang ada, sama halnya dengan Brahman dalam Upanisad.
(Bhuwanakosa III, 82). Yatottamam iti sarvve, jagat tatva vva liyate, yatha sambhavate sarvvam, tatra bhavati liyate. Sakwehning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya.
Semua dunia ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali pada Bhatara Siwa juga.
Segala yang muncul dari Bhatara Siwa itu sifatnya maya, bukan yang sesungguh nya dan merupakan dunia phenomena, yaitu dunia gajala yang tampak untuk sementara saja. Ibarat tampaknya bayang-bayang pada cermin, yang tampaknya saja ada namun sesungguhnya tidak ada, dan yang sesungguhnya ada berada di balik bayang-bayang itu. Adapun yang sembunyi di balik dunia ini, yang bersifat langgeng, hanyalah Bhatara Siwa sendiri.
III.2 Saran
Sebagai mahluk ciptaan yang paling utama hendaknya kita menjaga / memelihara dunia ini dan menjaga hubungan yang harmonis antara sesama. Semua ajaran tentang ke-Tuhanan sangat perlu kita pelajari agar kita dapat berbuat demi kemakmuran dunia. Seperti halnya ajaran Saiwa Siddhanta yang mengajarkan kita untuk memelihara dunia tempat kita terlahir, tumbuh, dan mati nantinya.

Minggu, 24 April 2011

Galungan


Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wukunya Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara, di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan ada di Indonesia, terutama di Jawa dan di di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kindung panji Amalat Rasma. Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama, Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: ngawit, Bu, Ka, Dungulan Sasia Kacatur, tanggal 15, Isaka 804. Bangun Indria Buwana Ikang Bali Rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu secara meriah. Setelah Galungan itu dirayakan, tiba-tiba – entah apa dasar pertimbangannya – pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan. Selama Galunan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan yang sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar itu menyatakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek, peyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti pawisik itu Dewi Durgha minta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon seperti tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu, disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Bhuta Kala) dari diri manusia dan lingkungan. Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu.

MAKNA FILOSOFIS GALUNGAN
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecenderungan keraksaan (asura sampad) dan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual akan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapa.
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terhindar dari segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersama dengan yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakekat Galungan adalah merayakan menang adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar, Sugihan Jawa bermakna (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari sugihan Jawa itu merupakan Pasucian Dewa Kalinggania (penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan uapcara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista rata tawulan (oleh karenanya mereka masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena ia dianjurkan anyekung jnana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi”. Pada hari Anggara Wage wuku Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis Wuku Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melalui dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dan meninggalkan anugrah berupa kedirghayusan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan mereka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebut dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malani kekotoran pikiran. Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari atau tengah hari pada Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

MACAM-MACAM GALUNGAN
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal dengan sebutan yaitu Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan keterangan adharma. Dalam lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan”. Artinya, Galungan itu dirayakan wuku Dungulan. Jadi Galungan itu, dirayakan setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Wara dan Wuku. Kala Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan Wukunya Dungulan, saat bertemunya hari Raya Galungan.
Galungan Nadi, galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (Purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang jatuh pada bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah dan keyakinan bahwa hari purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan Purnama disebut Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa, jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam Lontar Sundarigama yaitu sebagai berikut:
‘Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa”.
Artinya:
Bila wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih kesembilan Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama.
Nihan bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma hywa lali elingakna. Yan tekaning sasih kapitu mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yang mengkana. Tan mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9, tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngara Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yadnya manurun denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan. Demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalem (maksudnya bila oleh Balagadabah).
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan Raksasa, pemakan daging, pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Pelaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara adharma melawan dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

GALUNGAN DI INDIA
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga. Bahkan kemungkinan besar, perayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “menang”.
Hari raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasani juga dilakukan Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan. Pada hari kesepuluh barulah Wijaya Dasani atau Dasara. Wijaya Dasani lebih menekan pada rasa kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasani dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewa mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksaas yang amat sakti, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik diyakini dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang sesungguhnya kesaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali, kata sakti sering diartikan sebagai kata angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasani pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh umat merayakan Wijaya Dasani atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Dimana-mana sebagai lambang kemenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Supla dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan dimana sudah ada memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah ada. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasani yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemeran Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan dari hari raya Wijaya Dasani adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan kekuatan yang harus dicapai oleh manusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjadi saat bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. kalau kebahagiaan dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdimensi ritual dan spirit.

Sejarah Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia.[3] Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau.[4] Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sansekerta dari India pada 100 SM.[rujukan?]
Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (12931500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1945, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[5]
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.